Abhan; Kerangka Hukum Yang Kuat, Sebagai Basic Legitimasi Proses Penyelenggaraan Pilkada.
|
Klungkung, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Tahun ini bangsa Indonesia, KPU.dan Bawaslu menyelenggarakan pilkada serentak 2020, yang diikuti oleh 270 daerah dan ini merupakan pilkada pertama kali ditengah pandemi covid -19".jelas Abhan (Ketua Bawaslu RI), saat menjadi narasumber pada diskusi webinar yang mengambil tema Menjamin Kedaulatan Rakyat dan Kualitas Demokrasi Melalui Penegakan Hukum Pemilu, Rabu (28/10/2020)
Penyelenggaraan pilkada sempat juga ditunda dari 23 september menjadi 9 desember 2020, sehingga pelaksanaan dimulai kembali pada 15 juni 2020 dan saat ini sudah memasuki tahapan kampanye. Penyelenggaran di tengah covid-19 banyak hal baru dan tantangan-tantangan, yang tentunya ini menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara yaitu KPU dan Bawaslu, bangaimana menyelenggarakan pilkada di tengah Covid-19, tentu dihadapkan pada 2 hal yag bertolak belakang, karena prinsip mengatasi pandemi adalah dengan stay at home dan kurangi berinteraksi, disisi lain prinsip pemilihan pemilu adalah bertemu, memobilisasi masa ,dan kampanye mendorong masa untuk datang ke tps pada tgl 9 desember, inilah tantangan terberat bagi penyelenggara, mengkombinasikan diantara dua hal pilihan yang bertolak belakang.
Menurut Abhan ada prasyarat penyelenggaraan pilkada ini bisa dilakukan baik dan tujuan dari ini luber jurdil, sehingga bisa terpilihnya kepala daerah yang amanah.
Ada empat prasyarat,diantaranya adalah kerangka hukum yang kuat, ini penting sebagai basic legitimasi proses penyelenggraan pilkada.
"Undang-undang mengalami perubahan revisi kemarin ketika penundaan ke bulan Desember ini, maka harus ada legitimasi hukum, waktu itu ada keluar perpu 2 tahun 2020 sekarang menjadi undang-undang nomor 6 tahun 2020, dari perpu itulah maka sebagai landasan untuk bisa melaksanakan penundaan sampai 9 Desember 2020" jelas Abhan
Selanjutnya jika mengacu pada undang-undang nomor 10 tahun 2016 bahwa penyelenggaraan pilkada serentak 2020 ini mau tidak mau harus di bulan September karena udang-undang sudah menyebut bulan September, landasan untuk bisa mundur adalah harus ada landasan hukum baik itu perpu 2 tahun 2020 dan sekarang menjadi undamg-undang 6 tahun 2020, tentunya tidak hanya persoalan undang-undang saja, hal-hal yang lain perlu kerangka hukum yang kuat yang dalam ini adalah regulasi turunan undang-undang adalah PKPU, namun demikian apakah regulasi yang ada dalam hal ini undang-undang nomor 6 tahun 2020 kemudian PKPU itu sudah mencukupi atau belum terkait dengan pelaksanaan pilkada ditengah pandemi covid-19 ini, sementara ini menurutnya, dari dasar itu cukup untuk melakukan kegiatan-kegiatan kampanye dan selama tidak ada hal -hal yang diluar dari undang-undang, tetapi memang kalau mau ada perubahan yang selain diatur undang-undang maka perlu legitimasi hukum lain.
Abhan mencontohkan, misalnya bahwa apakah memungkinkan KPU seandainya nanti di hari pemungutan suara itu ada metode pemungutan kotak suara keliling, jadi petugas KPPS yang mendatangi masyarakat, datang kerumah untuk mengunakan hak pilihnya. Jika mengacu daripada undang-undang yang ada tidak memungkinkan karena tidak ada diatur metode dan mekanisme pemungutan suara kotak keliling seperti pada undamg-undang nomor 7 tahun 2017, kalau di undang-undang tersebut memang ada ruang bisa dilakukan pemungutan kotak suara keliling.
Kalau memang KPU nanti mau membentuk metode pemungutan suara dengan kotak keliling maka harus ada landasan hukum yang cukup untuk itu. Penting adanya kerangka hukum yang kuat karena ini sebagai dasar legitimasi, jangan sampai nanti proses ini dianggap tidak legitimid atau tidak ada dasar hukum, karena ketika ada yang tidak puas akan mempersoalkannya.